Sejarah Tentera Nasional Indonesia-Angkatan Laut

Sebahagian rencana ini mengandungi kandungan menggunakan bahasa yang terlalu mengikuti baku negara tertentu hasil pengambilan semula sumber ditulis dari negara sedemikian sebagai asasnya. Anda diminta sunting semula kandungan rencana ini agar ia beristilah seimbang dan selaras serta jelas difahami umum dalam kalangan negara-negara Nusantara lain menggunakan laman Istilah MABBIM kelolaan Dewan Bahasa dan Pustaka. Silalah membantu.
Kata nama khas dan petikan media tertentu (seperti daripada akhbar-akhbar atau dokumen rasmi) perlu dikekalkan untuk tujuan rujukan. Sumber perkamusan dari Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia serta Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia juga disediakan untuk pemeriksaan silang.
Anda boleh rujuk: Laman PerbincangannyaDasar dan Garis Panduan WikipediaManual Menyunting

Penubuhan Badan Keamanan Rakyat Laut (BKR Laut) pada sekitar 10 September 1945 menjadi tonggak penting bagi kehadiran Tentara Laut Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diistihar pada tarikh 17 Ogos 1945. Kehadiran BKR Laut ini tidak terlepas dari peranan tokoh-tokoh bahariawan yang pernah bertugas di jajaran Koninklijke Marine ketika penjajahan Belanda dan Kaigun pada zaman pendudukan Jepun. Faktor lain yang mendorong pembentukan badan ini adalah masih adanya potensi yang memungkinkannya menjalankan fungsi mebgurus Angkatan Laut seperti kapal-kapal dan pangkalan, sungguhpun pada ketika itu Angkatan Bersenjata Indonesia belum ditubuhkan.

Terbentuknya organisasi ketenteraan Indonesia yang dikenal sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR) turut mendorong kepada pembentukan Tentara Keamanan Rakyat Laut yang selanjutnya lebih dikenal sebagai Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), dengan segala kekuatan dan kemampuan yang dimilikinya. Sejumlah pangkalan Angkatan Laut terbentuk, kapal - kapal peninggalan Jawatan Pelayaran Jepun digunakan, dan anggota-anggotanya pun direkrut untuk memenuhi tuntutan tugas sebagai pengawal laut Republik yang baru terbentuk itu. Kekuatan yang sederhana tidak melemahkan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) untuk menggelar Operasi Lintas Laut dalam rangka menyebarkan berita pengistiharan dan menyusun kekuatan bersenjata di berbagai tempat di Indonesia. Di samping itu, mereka juga melakukan pelayaran membolosi pengepungan laut olah Belanda dalam rangka mendapatkan bantuan dari luar negara.

Kepahlawanan perajurit samudera terserlah dalam berbagai pertempuran laut dengan Angkatan Laut Belanda di berbagai tempat seperti Pertempuran Selat Bali, Pertempuran Laut Cirebon, dan Pertempuran Laut Sibolga. Operasi lintas laut juga mampu menyusun pasukan bersenjata di Kalimantan Selatan, Bali, dan Sulawesi. Batasan dalam kekuatan dan kemampuan menyebabkan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) harus mengalihkan perjuangan di pedalaman, setelah sebagian besar kapal ditenggelamkan dan hampir semua pangkalan digempur oleh kekuatan tentera Belanda dan Sekutu. Sebutan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Gunung kemudian melekat pada diri mereka. Namun demikian tekad untuk kembali berperanan di laut tidak pernah surut. Dalam masa kesulitan selama Perang Kemerdekaan Angkatan Laut Republik Indonesia berhasil membentuk Corps Armada (CA), Corps Marinier (CM), dan lembaga pendidikan di berbagai tempat. Pembentukan unsur - unsur tersebut menandakan kehadiran aspek bagi pembentukan Angkatan Laut yang modern.

Berakhirnya Perang Kemerdekaan memulakan pembangunan ALRI sebagai Angkatan Laut modern. Sesuai dengan hasil Konferensi Meja Bundar sejak tahun 1949, Angkatan Laut Republik Indonesia menerima berbagai peralatan perang berupa kapal - kapal perang beserta berbagai kemudahan sokongan seperti Pangkalan Angkatan Laut. Langkah ini bersamaan dengan pengukuhan Angkatan Laut Republik Indonesia, pembentukan organisasi, dan pengambilan anggota melalui lembaga pendidikan sebelum mengendali peralatan laut dalam. Dalam tempoh 1949 hingga 1959 Angkatan Laut Republik Indonesia berhasil menyempurnakan kekuatan dan meningkatkan kemampuannya. Di bidang organisasi, Angkatan Laut Republik Indonesia membentuk Armada, Korps Marinir yang saat ini disebut sebagai Korps Komando Angkatan Laut (KKO-AL), Penerbangan Angkatan Laut dan sejumlah Komando Daerah Maritim sebagai komando pertahanan kewilayahan aspek laut. Peralatan tempur ALRI pun bertambah baik yang berasal dari penyerahan Angkatan Laut Belanda maupun pembelian dari berbagai negara. Penyediaan tentera yang profesional juga mendapatkan perhatian yang besar dengan penubuhan lembaga pendidikan untuk mendidik calon - calon parajurit dari segi strategi, latihan dll, serta pengiriman parajurit Angkatan Laut Republik Indonesia untuk mengikuti pendidikan luar negeri.

Dengan peningkatan kekuatan dan kemampuan tersebut, Angkatan Laut Republik Indonesia mulai menyempurnakan strategi, taktik, maupun teknik operasi laut yang langsung diguna pakai dalam berbagai operasi ketenteraan dalam rangka menghadapi gerakan pemisah yang muncul pada tahun 1950 hingga 1959. Dalam operasi penugasan PRRI di Sumatera, Permesta di Sulawesi, DI/TII di Jawa Barat, dan RMS di Maluku, Angkatan Laut Republik Indonesia memperoleh pelajaran dalam penerapan konsep operasi laut, operasi amfibi, dan operasi gabungan dengan angkatan lain.

Pada saat keadaan negara baru pulih dari ancaman perpecahan, pada tahun 1959 Angkatan Laut Republik Indonesia mencanangkan program yang dikenal sebagai Menuju Angkatan Laut yang Jaya. Sampai tahun 1965 Angkatan Laut Republik Indonesia mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Hal ini dilatarbelakangi oleh politik konfrontasi dalam rangka merebut Irian Barat yang dirasa tidak dapat diselesaikan secara diplomatis. Berbagai peralatan tempur Angkatan Laut dari negara Eropa Timur memperkuat Angkatan Laut Republik Indonesia dan menjadi kekuatan dominan pada saat itu. Beberapa mesin perang yang terkenal di jajaran Angkatan Laut Republik Indonesia antara lain kapal penjelajah (cruiser) RI Irian, kapal perusak (destroyer) klas 'Skory', fregat klas 'Riga', Kapal selam klas 'Whisky', kapal tempur cepat berpeluru kendali klas 'Komar', pesawat pembom jarak jauh Ilyushin IL-28, dan Tank Amfibi PT-76. Dengan kekuatan tersebut pada era tahun 1960-an ALRI disebut - sebut sebagai kekuatan Angkatan Laut terbesar di Asia.

Ada beberapa operasi laut selama operasi pembebasan Irian Barat yang dikenal dengan sebutan Operasi Trikora itu. Pada awal Trikora digelar, kapal -kapal cepat torpedo Angkatan Laut Republik Indonesia harus berhadapan dengan kapal- kapal perusak, fregat, dan pesawat Angkatan Laut Belanda di Laut Aru pada tanggal 15 Januari 1962. Komodor Yos Soedarso beserta RI Macan Tutul tenggelam pada pertempuran laut tersebut. Peristiwa yang kemudian dikenang sebagai Hari Dharma Samudera itu memacu semangat untuk merebut Irian Barat secara militer. Pada saat itu Angkatan Laut Republik Indonesia mampu mengorganisasikan Operasi Jayawijaya yang merupakan operasi amfibi terbesar dalam sejarah operasi militer Indonesia. Tidak kurang dari 100 kapal perang dan 16,000 prajurit disiapkan dalam operasi tersebut. Gelar kekuatan tersebut memaksa Belanda kembali ke meja perundingan dan dicapai kesepakatan untuk menyerahkan Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia.

Politik konfrontasi Republik Indonesia dalam melawan Neo Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim) dilanjutkan pada Operasi Dwikora untuk menentang pembentukan negara Malaysia. Meskipun unsur - unsur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia telah disiapkan dalam operasi tersebut, namun operasi hanya sebatas pada operasi infiltrasi. Prajutir - prajurit ALRI dari kesatuan KKO-AL terlibat dalam tahap ini. Sementara unsur - unsur laut menggelar pameran bendera dalam rangka mengimbangi provokasi oleh kekuatan laut negara - negara sekutu. Operasi Dwikora tidak dilanjutkan seiring dengan suksesi pemerintahan di Indonesia pasca Pemberontakan G 30 S/PKI.

Sejak tahun 1966 Angkatan Laut Republik Indonesia yang kemudian disebut dengan TNI AL mengalami babak baru dalam perjalanan sejarahnya seiring dengan upaya integrasi ABRI. Dengan adanya integrasi ABRI secara organisatoris dan operasional telah mampu menyamakan langkah pada pelaksanaan tugas di bidang pertahanan dan keamanan sehingga secara doktrinal, arah pengembangan kekuatan dan kemampuan setiap angkatan menjadi terpusat. Kegiatan operasi yang menonjol pada kurun waktu 1970-an adalah Operasi Seroja dalam rangka integrasi Timor - Timur kepada RI. TNI AL berperan aktif dalam operasi pendaratan pasukan, operasi darat gabungan, dan pergeseran pasukan melalui laut.

Mulai dasawarsa 1980-an TNI AL melakukan langkah modernisasi peralatan tempurnya, kapal - kapal perang buatan Eropa Timur yang telah menjadi inti kekuatan TNI AL era 1960 dan 1970-an dinilai sudah tidak memenuhi tuntutan tugas TNI AL. Memburuknya hubungan Republik Indonesia - Soviet Union pasca pemerintahan Presiden Soekarno membuat terhentinya kerja sama militer kedua negara. Oleh karena itu TNI AL beralih mengadopsi teknologi Barat untuk memodernisasi kekuatan dan kemampuannya dengan membeli kapal - kapal perang dan peralatan tempur utama lainnya dari berbagai negara, di antaranya Korvet berpeluru kendali kelas 'Fatahillah' dari Belanda, Fregat berpeluru kendali klas 'Van Speijk' eks- AL Belanda, Kapal selam klas 209/1300 buatan Jerman Barat, Kapal tempur cepat berpeluru kendali klas'Patrol Ship Killer' buatan Korea Selatan, dan Pesawat Patroli Maritim 'Nomad-Searchmaster'eks-Angkatan Bersenjata Australia.

Pada saat yang sama TNI AL mengembangkan operasi bukan ketenteraan yang berupa operasi bakti kemanusiaan Surya Bhaskara Jaya di berbagai daerah terpencil di Indonesia yang hanya boleh dihubungi melalui laut. Operasi ini berbentuk kegiatan perkhidmatan kesihatan, pembangunan dan pembaik pulih pasarana umum, dan berbagai penerangan dalam bidang kesihatan, undang-undang, dan keselamatan negara. Kegiatan ini dilaksanakan secara rutin setiap tahun hingga sekarang. Sejumlah negara juga pernah menyertai dalam kegiatan tersebut antara lain Singapura, Australia dan Amerika Syarikat. TNI AL juga berupaya menggalakan pembangunan sektor kelautan jauh sebelum Departemen Kelautan terbentuk, khususnya yang berhubungan dengan aspek pertahanan dan keamanan di laut. Kegiatan - kegiatan nyata yang dilakukan TNI AL adalah mendirikan badan - badan pengkajian pembangunan kelautanbersama - sama dengan pemerintah dan swasta di beberapa daerah, program desa pesisir percontohan yangterangkum dalam Pembinaan Desa Pesisir (Bindesir), dan program Pembinaan Potensi Nasional menjadi Kekuatan Maritim (Binpotnaskuatmar). Dalam rangka menggelorakan jiwa bahari bangsa, TNI AL menggelar event kelautan skala internasional yaitu Arung Samudera 1995 yang berupakan Lumba Kapal Layar Tiang Tinggi dan perahu layar. TNI AL juga menjadi pendukung utama dicanangkan Tahun Bahari 1996 dan Deklarasi Bunaken 1998 yang merupakan manifestasi pembangunan kelautan di Indonesia.

Selama dasawarsa 1990-an TNI AL mendapatkan penambahan kekuatan berupa kapal - kapal perang jenis korvet klas 'Parchim', kapal pendarat kereta kebal (LST) kelas 'Frosch', dan Penyapu Ranjau kelas Kondor. Penambahan kekuatan ini dinilai masih jauh dari keperluan dan tuntutan tugas, lebih - lebih pada masa krisis multidimensional ini yang menuntut peningkatan operasi namun perolehan dukungannya sangat terbatas. Reformasi dalaman TNI membawa pengaruh besar pada tuntutan peningkatan tugas TNI AL dalam bidang pertahanan dan keamanan di laut seperti penyusunan organisasi dan pengesahan Armada yang tersusun dalam flotila - flotila kapal perang sesuai dengan kesamaan fungsinya dan perkembangan organisasi Korps Marinir dengan pembentukan satuan setingkat division Pasukan Marinir-I di Surabaya dan setingkat Brigade berdiri sendiri di Jakarta. Pembentukan tersebut merupakan sebahagian dari tekad TNI AL menuju Hari Esok yang Lebih Baik.